Asvi Warman Adam
Meski Indonesia telah merdeka tahun 1945, pengangkatan pahlawan nasional baru dimulai sejak tahun 1959. Sampai sekarang tercatat lebih dari 100 pahlawan yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia .
Tahun lalu, Pong Tiku masuk jajaran tokoh terhormat ini. Ia adalah pejuang dari Tanah Toraja yang berperang melawan Belanda tahun 1905-1907. Deretan pahlawan nasional itu bagai album perjuangan. Masing-masing daerah berusaha memasukkan "foto"-nya ke album bersama ini. Pada akhir pemerintahan Soeharto, dirasa tidak cukup bila provinsi diwakili seorang tokoh, sampai-sampai ada kabupaten yang ingin memperjuangkan pahlawan yang berasal dari wilayah mereka sendiri (daerah tingkat II).
Selama Orde Baru, ada dua pahlawan nasional yang dicekal. Maksudnya nama mereka tidak tercantum dalam buku pelajaran sejarah sekolah meski surat pengangkatan sebagai pahlawan nasional tidak dicabut. Keduanya adalah tokoh dari golongan kiri, yakni Tan Malaka (diangkat tahun 1963) dan Alimin (1964).Dalam waktu lebih 30 tahun, etnis Tionghoa tidak disebut dalam pelajaran sejarah Indonesia . Aneka peringatan atau pertunjukan kultural yang berbau Tionghoa tidak pernah ditampilkan di depan umum. Buku Slamet Mulyana yang memuat pendapat kontroversial bahwa Wali Songo berasal dari etnis Tionghoa tidak dibahas secara ilmiah, tetapi langsung dilarang Kejaksaan Agung.
Baru pada era reformasi keadaannya berangsur berubah. Perayaan Imlek, misalnya, diakui sebagai hari libur fakultatif (masa Presiden Abdurrahman Wahid) dan libur resmi (era kepemimpinan Mega). Barongsai dipertunjukkan di mana-mana. Sejarah kelenteng diulas di televisi. Tampaknya, perjalanan warga Tionghoa masih panjang untuk mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan etnis lain di Tanah Air. Diskriminasi di bidang hukum masih berlaku terhadap etnis Tionghoa. Tidak kalah, diskriminasi di bidang sejarah. Sumbangan amat besar etnis Tionghoa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi selama berabad-abad di Nusantara tidak pernah diajarkan kepada siswa. Perlu dicatat, etnis Tionghoa berjuang melawan Belanda. Di Kalimantan Barat, seperti diteliti sejarawan UGM Harlem Siahaan, kongsi Tionghoa pernah mengangkat senjata terhadap Belanda.
Salah seorang tokoh etnis Tionghoa yang berjasa kepada Republik ini adalah Laksamana John Lie. Ia adalah mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang lalu bergabung dengan Angkatan Laut RI . Semula ia bertugas di Cilacap dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi laksamana. Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis.
Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS di Maluku lalu PPRI/Permesta. John Lie yang juga dikenal dengan nama Jahya Daniel Dharma tetap berdinas di Angkatan Laut, terakhir berpangkat laksamana muda. Ia layak diusulkan sebagai pahlawan nasional.(Tread ini di buat Supaya kita tahu bahwa semua ikut berjuang) Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris.
Sumber: Kompas, Jumat, 31 Januari 2003
Salut untuk penelitian Asvi Warman Adam Setuju bahwa Laksamana Jahya Daniel Dharma a.k.a. John Lie diangkat jadi Pahlawan. Yang pasti semua orang di tanah air Indonesia ini ikut berjuang melawan PENJAJAH ... entah Belanda atau Jepang. Dan kaum keturunan Tionghoa juga ada di barisan penentang itu Politik Belanda yang memisahkan : Asia Timur dan Pribumi telah mengasingkan posisi kaum tionghoa ... yang herannya tidak terjadi pada kaum keturunan Arab, India dan sebagainya yang juga diperlakukan istimewa oleh Belanda. Pada jaman Soekarno, pembauran itu berlangsung baik. Kaum Tionghoa bersedia berpikir tentang kemajuan Indonesia dan bukan hanya berdagang. Tercatat Menteri Oey Tjoe Tat di Kabinet Soekarno. Dan keturunan suku lain di nusantara tidak ada masalah dengan Tionghoa. Masalah muncul jaman Orde Baru, yang memakai pola pendekatan politik Belanda. Hanya Orde Baru tidak memakai kaum Arab dan India , tetapi hanya segelintir kaum Tionghoa sebagai kasir mesin uang Soeharto.
Tapi implikasinya ... terjadi sentimen terhadap keseluruhan kaum Tionghoa. Soeharto sebenarnya tidak pernah tulus bersahabat dengan kaum Tionghoa ... karena kaum ini sering hanya menjadi Bemper. Lihatlah setiap ada krisis ekonomi, selalu masalah dilemparkan ke kaum ini. Kini, kita bersyukur pada Gus Dur dan Megawati yang telah mengembalikan posisi "satu kaum" di Republik ini pada posisi yang sama dengan keturunan suku-suku lain di Indonesia. Semoga seperti jaman Soekarno, tidak ada lagi kecurigaan dan sentimen dari suku lain terhadap kaum tionghoa dan kaum tionghoa Indonesia tidak hanya berpikir untuk kelompoknya melainkan berpikir untuk kemajuan INDONESIA Semoga ada lagi menteri selain Kwik Kian Gie, sekarang ada Marie Pangestu), bahkan tentara, polisi, bupati, gubernur, kalau perlu camat dan lurah yang juga dari keturunan tionghoa; jadi hilang kesan bahwa keturunan tionghoa hanya mengurusi dagang dan uang.
0 comments:
Posting Komentar