|
1942-1969 |
Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17
Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan
Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe
Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang
juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan
Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman
bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.
Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi
perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di
Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok
Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya
Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga
tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.
Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin
(Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah
di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk
di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari
Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?
Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk.
Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau
mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah
sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah
Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang. Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius
jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang
sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.
Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan
sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran
berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang
menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik. Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan
sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini
melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra
jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.
Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini
gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang
pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru. Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era
demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian
selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan
angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi
dengan oposisinya.
Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya
adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip
Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of
the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the
earth”. Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya.
Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian.
Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam
favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan
komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya
3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik
gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah
manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin
tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai
sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air
Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari
dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan
fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu
apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong
dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat
pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan
Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira
ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang
tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia
meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama
ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung
tersebut.
|
Makam soe Hok Gie |
24 Desember 1969 Gie
dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke
Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober
sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat
ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan
di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi
dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango. Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua.
Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
"Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet
tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin
merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau,
atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti
kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat
iba hati, dapat merasai kedukaan…”
Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah
Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan
Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe
Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan
meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra,
Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah
memasuki tahap pasca produksi.
Catatan Seorang Demonstran
John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang
yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam
pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun
meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa
catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional”
ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza
(sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan
sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie”
tuturnya.
Kata Kata Soe Hok Gie
Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am
I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak
mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya
bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar:
kebenaran.
Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor.
Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari
diri lagi, maka terjunlah.
Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah.
Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua
dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya
memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan
prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap
kemunafikan.
Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan
adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang
biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai
seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari
eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan
sebagai seorang manusia.
Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia
mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya,
selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani
menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak
menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa.
Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan,
ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari
sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh
tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa
pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan,
sejarah tidak akan lahir?
Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan
terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non
humanis…
Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong
lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan
pemerintah.
Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik
daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan
kekurangan-kekurangan kita.
Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2
x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
To be a human is to be destroyed.
Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak
yang berani menentang angin.
Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena
mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.
Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya
kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam
kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam
ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan
warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah
kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri
saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di
jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin
memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada
semua-muanya.
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras
apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk
dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
“Kehidupan
sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang
dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan
kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau
berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita
ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Disana,
di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan
isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang
tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang…” - Soe Hok Gie,
Zaman Peralihan